Wednesday, July 20, 2011

Hukum wanita haid membaca Al-Qur'an

Antara persoalan yang biasanya dikemukan oleh para muslimah adalah bagaimana mereka dapat memanfaatkan bulan ramadhan apabila didatangi haid,ini karena apabila mereka sedang haid mereka tidak boleh shaum,tidak boleh sholat,dan tidak boleh membaca Al-Quran.kalau begitu apakah yang bisa mereka amalkan agar hari –hari ramadhan mereka ga berlalu begitu saja ketika mereka didatangi haid.
Maka inilah jawabannya,mudah2an bisa dismak,dihayati dan dimengerti maksudnya..Bismillah..
Pertama Hukum wanita haid memegang al-Qur’an,
Umumnya terdapat dua pendapat,yang pertama mnyatakan tidak boleh sedangkan yang kedua membolehkan,
Pendapat yang pertama merujuk kepada firman Alloh:”tidak menyentuhnya kecuali yang disucikan”(Al-Waqiah:76).Diikuti oleh sabda Rosul:”Tidaklah menyentuh Al-Qur’an dan tidak juga mushaf melainkan orang yang suci”.
Pendapat yang kedua mereka berpegang kepada kaidah bahwa seorang wanita yang sedang haid boleh melakukan smua perkara seperti biasa kecuali sholat,shaum,thawaf dan jima.Adapun hukum memegang Al-Quran tidak ada dalil yang tepat yang melarang wanita yang sedang haid memegang Al-Quran.
Ayat Al-Quran yang dijadikan rujukan oleh pendapat yang pertama adalah tidak tepat untuk dijadikan hujjah karena perkataan “Al-Mutatohharuun” sebenarnya merujuk kepada Malaikat sebagaimana bisa dilihat pada ayat yang berkaitan sebelum dan sesudahnya:”Bahwa itu ialah Al-Quran yang mulia,yang tersimpan dalam kitab yang terpelihara(Lauhil Mahfuz),tidak menyentuhnya kecuali hamba2 yang disucikan,diturunkan dr Tuhan semesta alam.”(QS,56:77-80).
Berkata Ibnu Abbas ra,bahwa yg dimaksud dg “fii kitabin maknuun”berarti langit yakni lauhil mahfuz sdgkan “Al-Mutohharruunn”adalah malaikat yang suci.
Justru keseluruhan ayat sebenarnya menerangkan kitab Al-Quran yg sebelum ini tersimpan di lauhil mahfuz,disana ia tidak disentuh oleh siapapun kecuali para malaikat sehinggalah ia diturunkan ke bumi kepada manusia.
Hadits yang dijadikan melarang juga adalah tidak tepat sandarannya,karena kata”al-thaharuun”yang berarti suci disana memiliki banyak arti(lafadz mustharok),sesuai kaidah ushul fiqih bahwa”suatu perkataan yang memiliki banyak arti tidak boleh dibataskan kepada maksud tertentu melainkan wujud petunjuk yang dapat menyokong pembatasan tsb.”
Perkataan suci dalam hadits diatas boleh berarti suci daripada najis seperti berak dan kencing,boleh juga suci dari hadats besar seperti haid dan junub dan suci dari hadas kecil seperti seseorang dalam keadaan berwudhu.Ia juga boleh berarti suci dari sudut akidah,spt firman-Nya:”Sesungguhnya org2 musyrik itu najis.”(QS.9:28).
Oleh karena itu perlu dicari maksud sebenarnya dari suci dalam hadis diatas,salah satu caranya adalah dg mengkaji keseluruhan hadits dimana ia sebenarnya adalah sepucuk surat yang diantar oleh Rosululloh kepada seorg sahabat di Yaman.Pada saat itu Yaman adalah sebuah wilayah yang penduduknya masih bercampur antara islam dan non islam,justru kemungkinan yang besar adalah bahwa surat tersebut bertujuan melarang Al-Quran daripada disentuh oleh non muslim.
Himpunan antara asal usul hadis dan rujukan Al-Quran kpd org musyrik sebagai najis dapat mengarah kepada satu petunjuk yang tepat bahwa arti suci dalam hadis diatas sebenarnya merujuk kpd org islam.Justru keseluruhan hadis sebenarnya melarang org2 non muslim memegang kitab atau mushaf Al-Quran.
Akhirnya jika dianalisa dari dua pendapat diatas,yang lebih tepat adalah pendapat yang kedua yang membolehkan seorang wanita yang sedang haid utk memegang Al-Quran..
Kedua: Hukum wanita yang sedang haid membaca Al-Quran.
Dalam persoalan ini terdapat sebuah hadits dari Rasululloh SAW :”Tidak boleh membaca sesuatu apapun daripada Al-Quran seseorang yang dalam keadaan junub atau haid.”
Hadits ini memiliki jalan periwayatan namun setiap darinya adalah dhaif,berkata imam Nawawi rahimahulloh,
Adapu hadis ibnu Umar diatas ia diriwayatkan oleh At-Tirmizi,ibn Majah,Baihaqi dan lainnya,ia adalh hadis yang dhoif,didhaifkan oleh Bukhori,baihaqi dan lainnya.Kedhaifan yg terdapat padanya adalah jelas.
Namun sebagian ahli fiqih tetap melarang seorang wanita yang sedang haid membaca Al-Quran karena diqiyaskan keadaan haid kpd keadaan junub.Namun hal ini dianggap tidak tepat karena dua sebab:
1.         Peranan Qiyas ialah mengeluarkan hukum bagi perkara2 yang tidak ada pada zaman Rosulullloh,yang merupakan perkara yang baru yang ada selepas itu,maka hukumnya disandarkan pada analogi pada sesuatu yang sudah sedia dihukumkan pada zaman Rosululloh berdasarkan kesamaan sebabnya(illatnya).Adapun haid maka ia adalah sesuatu yg sudah ada secara lazim pd zaman Rasululloh.Apabila pada zaman itu Alloh dan Rasul-Nya tidak menjatuhkan hukum melarang wanita yg sedang haid drpada membaca Al-Quran,maka tidak perlu bagi orang2 terkemudian utk membuat hukum yang baru.
2.         Haid dan junub adalah dua keadaan yang jauh berbeda.Junub adalah satu keadaan dimana org itu memiliki pilihan untuk berada didalmnya atau tidak,dan org itu bisa suci dari junub bila ia mandi atau tayamum.Beda halnya dg haid ia bermula dan berakhir tanpa pilihan.
Sebagian lain melarang atas dasar memelihara kesucian dan keagungan Al-Quran,justru mereka berpendapat tidak boleh membaca atau mentilawahkan Al-Quran kecuali beberapa perkataan atas dasar zikir dan memperoleh keberkatan.Pendapat ini juga kurang tepat karena seorang wanita itu sama baik dalam keadaan haid atau tidak adalah suci dan diperbolehkan baginya mlakukan srangkaian ibadah kecuali sholat,shaum,thawaf dan jima.Adapun kwajiban mandi setelah beres haid itu adalah penyucian atas sesuatu yang sedianya suci,bukan penyucian atas sesuatu yang sebelum itu bersifat najis.Oleh karena itu tidaklah berkurang sedikitpun kesucian dan keagungan Al-Quran apabila ia dibaca oleh wanita yg dlm keadaan haid.
Pernah sekali Abu Hurairah ra menghindarkan diri dari Rosululloh.Beliau pulang ke rumahnya dan kemudian kembali.Rasululloh bertanya kenapa engkau melakukan hal yang demikian,kemudian Abu Hurairah menerangkan tadi sebenarnya ia dlm keadaan junub.Mendengar itu Rasululloh bersabda:”Subhanalloh!Wahai Abu Hurairah sesungguhnya mukmin tidaklah ia menjadi najis.
Kata2 Rasululloh diatas bersifat umum,menunjukan bahwa seorg mukmin tidaklah sekali2 akan berada dalam keadaan najis sekalipun ia dalam keadaan junub.Termasuk keumuman dalam hadis ini ialah wanita yang sdg haid.
Sebagai rumusan dalam kupasan persoalan ini,berikut dinukil kata2 syaikh al islam Ibnu Taimiyyah rahimahulloh,”Sesungguhnya para wanita mereka mengalami haid pada zaman Rosululloh,maka seandainya membaca Al-Quran diharamkan pd mereka(ketika haid)sebagaimana sholat,pasti beliau akan menjelaskan kepada umatnya.Beliau akan mengjarkan kpd ummul mukminin(istri2 beliau) dan tentunya akan dpt dinukilkan dr mereka dan para sahabat wktu itu.Akan tetapi kenyataannya tidak ada satupun riwayat yang melarang yang dinukil dri nabi.Oleh karena itu hal ini tidak boleh dianggap terlarang karena telah diketahui bahwa beliau tidak melarangnya.So jika beliau tidak melarangnya padahal banyak wanita yg haid di zamannya,maka sesungguhnya ketahuilah bahwa ia memang tidak haram.
Kesimpulan
Alloh SWT berfirman : “Alif-lam miim,Al kitab(al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya,petunjuk bagi orag2 yang bertaqwa.”(QS.2:2)
Setiap individu yang bertaqwa atau ingin dpt predikat taqwa memerlukan Al-Quran sbg kitab yang memberi petunjuk kpd mereka.Petunjuk ini diperlukan pada setiap masa dan tempat,termasuk oleh para wanita ketika mereka didatangi haid.Tidak mungkin utk dikatakan bahwa ketika haid mereka tidak memerlukan petunjuk dalam kehidupan keseharian mereka.Atas keperluan inilah Al-Quran dan Sunnah yang sohih tidak melarang para wanita yang didatangi haid utk memegang dan membaca Al-Quran seperti biasa.Adapun pendapat yang mengatakan haram itu adalah lemah sekalipun brasal dari pendapat yang masyhur.Wallohu ‘alam bish- Sowab.”Wa’tashimuu bihablillahi jamiian walaa tafarroquu”


No comments:

Post a Comment